Terbentur, Terbentur, Terbentuk

#27: Luka yang berbekas ingin menorehkan sebuah maksud, entah itu tentang sejarah di belakang atau justru harapan di depan kita

Venansius Patrick

--

Tantangan di dunia dewasa ini semakin hari semakin terjal. Ada banyak masalah yang kita hadapi setiap harinya dalam menentukan sikap yang baik dan benar. Meskipun upaya untuk bangkit sudah dikerahkan sepenuhnya, namun keberuntungan tidak selalu berpihak pada kita. Alih-alih bertahan dengan penderitaan, kita berada di bawah tekanan dan ingin segera lari keluar.

Ini adalah masalah yang kerap kita hadapi sekarang ini. Situasi sulit membuat kita takut, ragu untuk melangkah, dan pesimistik. Untuk segenap masalah yang kita alami itu, rasanya sulit untuk benar-benar menyelesaikannya jika kita hanya fokus pada rasa sakit. Hasil akhir bukanlah segalanya. Lewat pengalaman semacam itu, kita justru ditantang untuk bertahan dan berproses dengan penuh.

Lewat pengalaman sulit, kita ditempa untuk terus bangkit. Frasa singkat yang digaungkan oleh Tan Malaka bukan hanya sekadar pesan sepele. Justru frasa itu ingin membangunkan kita dari mimpi buruk tentang rasa sakit. Dengan mengusung kesederhanaan makna, Tan ingin mengajak kita memelihara rasa damai dengan menerima setiap benturan sebagai proses pembentukan menuju versi diri kita yang sejati.

Kita perlu untuk tetap terbentur. Terbentur berarti siap untuk dibentuk. Tentu saja, proses yang melibatkan rasa sakit tidak akan serta merta terasa enak. Untuk bertahan di awal saja sudah terasa sulit. Apalagi jika bertahan tanpa tahu waktu yang jelas. Tapi, mari kita reguk semua rasa pahit itu dengan mempercayai proses. Bahwasanya setiap derita dan luka yang meliputi segenap badan dan jiwa adalah ukiran-ukiran mahal yang mengajarkan kita berharganya sebuah pengalaman.

Photo by Sandeep Singh on Unsplash

Ketika menuliskan ini, saya teringat akan banyak pengalaman serupa yang menyakitkan. Tidak mudah untuk keluar dari situasi seperti itu. Tapi, apakah sebenarnya perlu untuk menghindari masalah? Ataukah itu merupakan bentuk kelalaian kita terhadap tanggung jawab? Saya mencoba merenungkan apa yang bisa saya lakukan mengenai hal itu. Jawabannya terlampau sederhana hanya untuk sekadar dipahami, namun praktiknya sangat sulit. Konsistensi menjadi kunci utama untuk bisa melakukan keseluruhan proses sampai akhir.

Seperti halnya emas yang dilebur menjadi bejana yang menawan atau berlian termurni yang dihasilkan dari tekanan dan panas, begitu pula halnya dengan diri kita. Jika kita tidak sanggup bertahan, kesia-siaan sudah pasti jadi hasil akhir. Tapi, dengan bersabar dan menerima, ada sesuatu yang menunggu di belakang. Percobaan dan ujian memang didesain untuk melebur, membentur, dan membentuk kita. Semoga kita senantiasa siap untuk ditempa.

--

--

Venansius Patrick
Venansius Patrick

Written by Venansius Patrick

Seorang penulis pemula yang ingin belajar mengekspresikan isi kepalanya.

No responses yet